Salah satu tempat yang saya suka di TATOR yaitu Kete Kesu.
Terletak 4 km saja dari Kota Makale tempat saya menginap di Tana Toraja.
Senangnya di sana banyak yang bisa dilihat.
Pemandangan sawahnya, jajaran rumah adat Toraja (Tongkonan),
batu menhir, pengrajin kayu, souvenir dan penyimpanan peti mati di bukit.
Kalau pas ada upacara pemakaman jenasah,
waaachhhhh lebih seru lagi.
Selesai melihat-lihat Tongkonan, saya menyempatkan melihat hanging grave ( peti mati digantung di bukit). Bukit penyimpanan peti mati itu terletak di belakang jajaran rumah adat toraja tadi. Ada beberapa kuburan berupa rumah sebelum mencapai bukit batu Kete Kesu. Tapi lainnya ada di bukit Kete Kesu yang akan saya naiki.
Begitu melihat bukitnya, wachhh …….macam-macam deh yang terlintas.
Ada rasa takut tapi juga sekaligus kagum.
Takut karena melihat banyaknya peti-peti mati
Unik lantaran bukit itu jadi nampak artistik dengan keberadaan peti-peti itu
Kagum karena budaya masyarakat Toraja yang masih tetap lestari.
Naik bukit itu memang nggak sulit. Soalnya sudah ada tangga batu menuju ke lubang gua. Letaknya agak lebih atas. Jadi yang nggak kuat naik pelan-pelan saja. Atur nafas dulu. Jangan sampai oleng. Kalau olengnya ke sisi kianan, bakalan repot soalnya jurang gitu. Biar nggak dalam, tetap aja nantinya bakal merepotkan. Tapi kalau oleng dan jatuhnya kesisi kiri, gak jadi soal. Soalnya merupakan dinding yang tinggi. Paling-paling menimpa tengkorak atau tulang-tulang yang tercecer. Hiiiiiii …..dua-duanya sama aja seremnya.
Pas masuk lubang kayak gua gitu, saya melihat beberapa peti. Bahkan yang baru 2 minggu meninggal juga ada. Sayangnya gua itu kotor banget. Karena tak kena sinar matahari, jadinya agak bau tanah. Atau entah bau apa gitu, yang membuat saya dan 2 orang teman ( Russel dan Ida Ayu) segera keluar.
Begitu turun, suasana sudah lebih santai. Kami baru sadar bahwa sepanjang perjalanan kami ditemani dengan tulang dan tengkorak yang berceceran. Ya ditepi tangga turun itu, tulang belulang melulu. Ternyata tulang dan tengkorak itu reruntuhan dari peti-peti mati yang aus dimakan waktu. Ya iyalah, bertahun-tahun kena embun pagi. Siangnya seharian kena panas matahari. Belum lagi kalau ada hujan.
Pak Anton yang menemani kami mengingatkan untuk tidak menyentuh ataupun mengambil tulang-tulang itu. Konon ada juga sih yang iseng. Sok berani mengambil tulang-tulang itu. Nah begitu manusia iseng itu sampai di tempat tinggalnya, kan jadi repot. Soalnya si tulang tadi ‘mengganggu terus” dan minta dikembalikan. Kalau cuman tinggal di Makasar nggak jadi soal. Tapi kalau tinggalnya sudah antar pulau atau sudah dibenua lain gimana coba ? Kejadiannya emang begitu, si tangan usil itu tinggal di negara yang cukup jauh.
Pantesan dari dulu kok tulangnya nggak pernah habis. Soalnya selain tamu-tamu nggak berani mengambil, petugas kebersihan juga nggak berani membuang. Paling ia hanya merapihkannya. Kalau ada yang berceceran, dikumpulkan jadi satu.
Mumpung disitu kami yang emak-emak ber tiga ini,
hanya ingin bergaya aja disitu
Cetrat-cetret di samping tengkorak.
Cetrat-cetret di dekat peti mati
Cetret-cetret bersisian dengan tulang belulang
Halah sok berani
Malem-malem ada penampakan, paling juga ngacir berpelukan
Hiiiiiii …...
Amit-amit jangan sampai kejadian ! *** (ira)
No comments:
Post a Comment