Monday, February 28, 2011

SEJENAK DI KAMPUNG KAPITEN



Saya mengenal Kampung Kapiten dari televisi. Lupa dari stasiun televisi yang mana. Saya tertarik banget dengan kampung tua itu. Makanya begitu saya ada di Palembang, pas ada kesempatan, saya sempatkan mampir.

Kampung ini letaknya persis di tepi Sungai Musi tepatnya di Ulu 7. Kalau kita sudah berada di depan Benteng Kuto Besak (BKB), tinggal menyeberang saja. Naik sampan, Rp 2500,- saja. 5 menit juga sampai.



Menuju kampung kuno ini, kita akan melewati sebuah gang panjang. Kiri dan kanannya rumah-rumah penduduk. Sepanjang jalan di situ, saya banyak melihat penjual empek-empek. Ada yang dijual di rumahnya. Tapi ada juga yang di jajakan.

Pas baru datang, saya makan empek-empek buatan Bu Een. Makan di ruang tamunya. Pas pulangnya, lewat jalan itu lagi, saya makan empek-empek bakar nya Bu Lince. “Beda wanginya”, begitu ketika saya tanya, ngapain pake dibakar segala. Tapi emang yummy siiiiih kalau di bakar ! Beda rasanya.

Setelah melewati jalan panjang, baru deh saya memasuki sebuah lapang. Di kiri dan kanannya terdapat rumah-rumah kuno. Full dari kayu. Rumah-rumah yang dihuni kaum Tionghoa itu sudah 400 tahun usianya. Sedangkan ada sebuah rumah tempat menyimpan abu (rumah abu) usianya lebih tua lagi. 600 tahun bok.

Saya sempat masuk ke salah satu rumah yang paling pojok. Semua memang dari kayu. Atap rumah tinggi banget. Jendelanya juga besar-besar. Pintunya apalagi. Mebelnya, mebel kuno semua. Di dindingnya terdapat gantungan foto para leluhur. Memperhatikan foto-foto kuno itu, coba deh tatap matanya. Ternyata diantara foto-foto itu ada yang hidup. Artinya begitu menatap matanya saya kok merasa tatapan mata dari seorang pria itu tajam menghunjam. Saya langsung, sret. Mengalihkan pandangan mata saya. Lho, kok saya jadi deg-deg an gitu. Serem ah !



Trus ada juga meja sembayang. Silvi salah seorang cucu keturunan yang ke 14 ini mempersilahkan siapa saja yang mau sembahyang di situ. Saya tidak sembahyang dengan cara itu, tapi saya menyampaikan kalau saya ingin menitip dibelikan lilin yang nantinya dipasangkan di meja sembahyang itu. Silvi menunjukkan sebuah kotak disitu. Lalu saya memasukkan sedikit uang ke dalam kotak itu.

Melihat rumah kayunya yang begitu kokoh. Trus kayunya luar biasa tebal. Ia mengakui bahwa biaya merawat rumah-rumah kuno ini sangat mahal. Hanya untuk mengganti lantainya dengan kayu sejenis saja, harganya mencapai 50 juta rupiah. Mahal, mahal sekaleeee.



Rumah-rumah kuno yang dihuni keluarga keturunan Tionghoa ini memang sedang mulai naik daun. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kampung ini sudah populer. Banyak wisatawan yang datang. Terkagum-kagum dengan rumah yang berderet-deret tua semua. Kuno. Tapi justru ini yang menjadi daya tariknya. Soalnya mencari rumah model begitu ya sudah susah.

Berminat untuk datang ? Nggak nyesel. Kampung ini punya nuansa yang berbeda *** (ira).

No comments:

Post a Comment

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden