Waruga-waruga di Sawangan (foto : Sutanto) |
Indonesia itu kaya banget. Budaya
mengubur orang meninggal saja, macam-macam caranya.
Kali ini mari melihat waruga di Manado.
Saya melihatnya pertama kali di Manado,
tepatnya di kota Air Madidi. Kira-kira 20 kilometer dari Kota Manado
menuju Danau Tondano. Ya, waktu itu saya mau ke Danau Tondano. Pas
lewat Air Madidi ada petunjuk menuju Taman Purbakala di Sawangan.
Penasaran dengan papan petunjuk itu, saya mampir ke Sawangan.
Pas sampai di sana, saya melihat
kumpulan batu-batu, Terkumpul rapih penataannya. Ternyata ini
makamnya leluhur orang-orang Minahasa. Jadi tatacara penguburan di
waruga ini terjadi sebelum Kristenisasi di Minahasa.
Jadi bagaimana sih penguburannya ? Jadi
bagian bawah waruga yang bentuknya segi empat ini, tengahnya
berlubang. Di sinilah orang yang meninggal di letakkan. Posisinya ya,
kaki terlipat. Filosifinya, bahwa posisi ini mirip seperti saat
manusia di kandungan seorang ibu ketika ia masih bayi. Maka ketika ia
harus kembali kepada Sang Pencipta, seperti itu pula lah saat
seseorang yang meninggal kembali.
Setelah itu, barulah lubang batu itu
ditutup batu. Batu penutupnya biasanya dihias. Hiasannya berupa
ukiran yang menggambarkan kehdupan dari pemilik / isi waruga.
Makanya di bagian atas, hiasannya berbeda.
Tentu saja, nama waruga itu ada
artinya. Waruga berasal dari kata 'wa' dan 'ruga'. “Wa”
merupakan perubahan sebutan dari 'ma'. Yaitu sebuah awalan 'me'
(diambil dari Bahasa Indonesia) yang artinya menjadi. 'Ruga”
berarti lembek, bubur atau mencair. Jadi waruga dianggap sebagai
tempat penyimpanan jenazah sampai lembek lalu mencair sampai akhirnya
hanya tinggal tulang-tulangnya.
Dulu waruga-waruga itu terpencar-pencar
di kampung-kampung. Baru pada tahun 1817, di bawah pemerintahan
Hukum Tua Sawangn (gelar seorang Kepala Desa di Minahasa), Karamoy,
waruga-waruga mulai dirapikan lokasinya dengan memindahkannya ke
suatu kompleks yang berdekatan dengan pemakaman Kristen. Lokasi yang
sudah ditentukan oleh Pemerintah Desa itu, ya lokasinya yang
sekarang.
Perhatikan ukiran di cungkup makam ( foto : Sutanto ) |
Di tahun 1980 an, saya melihat lokasi
ini tidak terawat. Rumputnya tinggi-tinggi. Kotor. Jadi ngeri sekali
ketika melihatnya. Belum lagi bunga kambojanya dimana-mana, jadi
semakin serem aja. Sekarang situasinya sudah berbeda. Rumputnya
pendek. Bersih. Suasananya lebih terang. Siapa pun yang datang saat
ini, tentu bisa menikmati, seni yang ada di setiap kubur itu. ***
(ira).
No comments:
Post a Comment