Sunday, September 30, 2012

MENYIMAK WARUGA




Waruga-waruga di Sawangan  (foto : Sutanto)

Indonesia itu kaya banget. Budaya mengubur orang meninggal saja, macam-macam caranya.
Kali ini mari melihat waruga di Manado.


Saya melihatnya pertama kali di Manado, tepatnya di kota Air Madidi. Kira-kira 20 kilometer dari Kota Manado menuju Danau Tondano. Ya, waktu itu saya mau ke Danau Tondano. Pas lewat Air Madidi ada petunjuk menuju Taman Purbakala di Sawangan. Penasaran dengan papan petunjuk itu, saya mampir ke Sawangan.

Pas sampai di sana, saya melihat kumpulan batu-batu, Terkumpul rapih penataannya. Ternyata ini makamnya leluhur orang-orang Minahasa. Jadi tatacara penguburan di waruga ini terjadi sebelum Kristenisasi di Minahasa.

Jadi bagaimana sih penguburannya ? Jadi bagian bawah waruga yang bentuknya segi empat ini, tengahnya berlubang. Di sinilah orang yang meninggal di letakkan. Posisinya ya, kaki terlipat. Filosifinya, bahwa posisi ini mirip seperti saat manusia di kandungan seorang ibu ketika ia masih bayi. Maka ketika ia harus kembali kepada Sang Pencipta, seperti itu pula lah saat seseorang yang meninggal kembali.

Setelah itu, barulah lubang batu itu ditutup batu. Batu penutupnya biasanya dihias. Hiasannya berupa ukiran yang menggambarkan kehdupan dari pemilik / isi waruga. Makanya di bagian atas, hiasannya berbeda.

Tentu saja, nama waruga itu ada artinya. Waruga berasal dari kata 'wa' dan 'ruga'. “Wa” merupakan perubahan sebutan dari 'ma'. Yaitu sebuah awalan 'me' (diambil dari Bahasa Indonesia) yang artinya menjadi. 'Ruga” berarti lembek, bubur atau mencair. Jadi waruga dianggap sebagai tempat penyimpanan jenazah sampai lembek lalu mencair sampai akhirnya hanya tinggal tulang-tulangnya.

Dulu waruga-waruga itu terpencar-pencar di kampung-kampung. Baru pada tahun 1817, di bawah pemerintahan Hukum Tua Sawangn (gelar seorang Kepala Desa di Minahasa), Karamoy, waruga-waruga mulai dirapikan lokasinya dengan memindahkannya ke suatu kompleks yang berdekatan dengan pemakaman Kristen. Lokasi yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Desa itu, ya lokasinya yang sekarang.

Perhatikan ukiran di cungkup makam ( foto : Sutanto )

Di tahun 1980 an, saya melihat lokasi ini tidak terawat. Rumputnya tinggi-tinggi. Kotor. Jadi ngeri sekali ketika melihatnya. Belum lagi bunga kambojanya dimana-mana, jadi semakin serem aja. Sekarang situasinya sudah berbeda. Rumputnya pendek. Bersih. Suasananya lebih terang. Siapa pun yang datang saat ini, tentu bisa menikmati, seni yang ada di setiap kubur itu. *** (ira).

No comments:

Post a Comment

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden