Suasana salah satu Pendopo Bale Raos |
Akhirnya sampai
juga di Bale Raos Keraton. Katanya sih,
rumah makan tersebut, rumah makan yang menyediakan makanan para raja dan
ratu Kesultanan Jokjakarta. Entah memang
pengen bener, entah termakan promosi orang, nyatanya sewaktu saya di Jogja kemarin, saya sempatkan juga bersama dengan Mbak Willy dan
Russel.
Begitu akan masuk ke rumah makan Bale Raos yang terdiri dari 2 pendopo di sisi kiri dan kanan, saya agak ragu juga. Bukannya apa sih, tentengan belanjaan kami cukup banyak. Maklumlah, sebelumnya kami mampir dulu beli oleh-oleh, lantaran malam harinya jam 23.30 kami sudah akan kembali ke Bandung lagi naik kereta api. Tentengan kami ber 3 sama. Satu tas keresek putih berisi Gudeg Mbarek Bu Hj. Amad yang belinya di Jl Kaliurang Km 5. Satu tentengan lagi isinya aneka oleh-oleh yang dibeli di bakpia pathok.
Salah satu ukiran yang berada di kayu penyangga |
Kami kan naik
taksi, jadi begitu sampai di Jl Magangan Kulon No 1 – Kraton itu, ya
barang-barang harus kami bawa. Soal pakaian sih ditanggung rapih dan gaya. Sama
dengan tamu lainnya. Tapi tentengannya
itu yang membuat kami mesam mesem waktu masuk.
Kami duduk di tenda
luar dengan meja makan bergaya antik klasik. Warna coklat dengan sedikit
ukiran. Seorang pramusaji, memberikan
daftar menu. Dalam daftar itu tersusun mulai dari makanan pembuka, makanan
utama dan makanan penutup juga minuman. Menu di tulis dalam 2 bahasa. Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris. Tulisannya
kecil-kecil. Suasana yang tidak terlalu terang, susah untuk membaca dari menu yang satu ke menu yang lain. Butuh waktu. Gak terlalu jelas.
Menariknya setiap
menu selalu ada ilustrasinya. Kalau di
tempat lain, ilustrasinya berupa isi dan komposisi dari makanan tersebut. Tapi resto Bale Raos Keraton tertulis misalkan, makanan Selada Jawa merupakan hidangan pembuka pada
masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (1921 – 1929). Bagi yang senang sejarah, pasti senang. Selain asyik kulineran, tapi
juga seru untuk menelusuri makanan kegemaran raja-raja Keraton Djogja ini.
“Mbak berapa lama
pesanan keluar ?’, tanyaku pada si mbak, agar kami tahu berapa lama kami
menunggu.
“Kurang lebih 15 - 20 menit bu”, begitu jawabnya ramah dengan
logatnya yang medok.
“Hm, nggak bisa
lebih sebentar ? Udah laper mbak ”, begitu ungkapku singkat dan memang waktu
itu sudah jam 8 malaman.
“Kebetulan banyak tamu bu,
tapi saya akan usahakan untuk lebih cepat “, begitu ia meyakinkan tamunya.
“ Oke lah kalau
begitu ! Kita buktikan !”, saya membalasnya sambil ketawa-ketawa.
Mungilnya si nasi merah. |
Soalnya memang
waktu itu, hampir semua kursi terisi.
Sambil mikir-mikir bener nggak ya ? Bisa
tepat waktu. Wong meja deretan para tamu
dari sebuah bank yang sedang dinner saja, dibeberapa mejanya baru mulai
disajikan. Belum meja-meja kelompok lain. Tapi, ya sudahlah. Sabaaarrrrr.
Sambil menunggu,
saya memperhatikan situasi resto yang memang berada di kompleks Keraton
Jogjakarta itu. Salah satunya kayu-kayu penyangga pendopo yang masih nampak kuat. Di
setiap penyangga itu terdapat ukiran. Sederhana. Tapi menarik. Berwarna hijau
dengan ukiran putih dan sedikit aksen merah mudanya. Saya tak tahu artinya,
tapi ini merupakan salah satu daya tariknya.
Ternyata surprise !
Singgang Ayam |
Kurang dari waktu yang disebutkan, pesanan sudah datang. Saya langsung menyambutnya. Dah laper broooo !
Harum dan lezat kelihatannya. Pilihan makanan
saya nasi merah, singgang ayam dan tumis daun papaya. Minumannya Beer Jawa. Buat saya inilah
saat-saat yang mendebarkan . Enak nggak ya masakannya ? Kalau enak, ya
Alhamdulillah. Kalau nggak enak, ya itulah resiko icip-icip.
Nasi merahnya
ukurannya kecil. Kalau soal rasa, nasi merah dimana-mana ya gitu deh rasanya. Ukurannya kecil. Jadi kalau untuk makan malam
pas lah. Tapi kalau makan siang, pastinya saya bakal nambah 2 gunungan. Saya sebut gunungan, lantaran nasi merah itu
dibentuk seperti gunung.
Lauknya, Singgang
Ayam. Sebenarnya ya sate-sate juga, tapi
bumbu sausnya yang dari rempah itu, yang
bikin berbeda. Enak sih. Sate yang terdiri dari 6 tusuk ini
merupakan Sate Kegemaran Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Pantes enak, lha wong selera raja.
Oseng Daun Pepayanya, WouW bangets. |
Sayurnya, Oseng
Daun Pepaya. Masakan khas Gunung Kidul ini saya pilih lantaran makanan kesukaan
saya. Ternyata menu dedaunan ini, menjadi salah satu menu sajian untuk GKR Hemas saat beliau mengunjungi desa –desa
di Yogyakarta. Soal rasa, jangan khawatir. Bumbunya terasa sekali. Daun
pepayanya bisa tak terasa pahit, sementara tidak berasa pedas meski di tumisan
tersebut betebaran potongan lombok merah. Bisa membayangkan enaknya tho ?
Sebenarnya saya
naksir juga beberapa makanan seperti Tapak Kucing ataupun Urip-Urip Gulung.
Keduanya makanan favorit Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sempat bingung saat
memutuskan pesan Singgang Ayam. Saya juga berusaha menawarkan ke dua menu
tersebut pada teman-temanku. Nantinya
kan bisa share. Tapi mereka punya pilihan favorite sendiri.
So, itu berarti,
saya masih harus datang ke sana lagi. Jelajah kuliner di Bale Raos Keraton belum
berakhir. Masih banyak yang harus dicicipi untuk menuntaskan makanan kegemaran
para sultan Keraton Jogjakarta. Kalau ke Jogja lagi, pasti mampir lagi ke
Bale Raos yang memang raos (enak). *** (ira).
Note :
1.
Soal
harga relatif, tapi sekedar tahu bahwa untuk
Beer Jawa Rp 14.000,- , Oseng Daun Pepaya Rp 13,500,- dan Singgang Ayam Rp 21.000,-.
2.
Resto Bale Raos Keraton Jogja, buka pada pukul 09.30 – 21.30 WIB.
No comments:
Post a Comment