Para Pemuda Baduy Dalam sedang berada di Baduy Luar. |
Akhirnya saya
jadi juga berangkat ke Baduy Dalam. Sebuah tempat yang membuat penasaran. Lantaran
dari banyak info yang saya dapatkan, kampung ini masih amat menjunjung warisan
budaya dan adat kehidupan dari leluhurnya. Sehingga di jaman yang serba canggih
ini, dimana orang berlomba-lomba untuk bisa menggunakan alat-alat bantu yang berteknologi tinggi dan cepat
perubahannya, masyarakat di Kampung Baduy masih tetap hidup amat sederhana. Tak
ada listrik. Tak ada radio. Tak ada televisi. Kok bisa ya ? Hare geneeee !
Sampai suatu hari, saya sampai juga di Desa Cijahe
yang merupakan salah satu desa di kawasan Baduy, Propinsi Banten. Pastinya di
Baduy Luar. Desa persinggahan, tempat saya dan teman-teman mengawali perjalanan
jalan kaki ke Baduy Dalam yang bakalan di tempuh antara 3 – 4 jam. Ada beberapa
warung di situ. Lumayan, bisa mengisi perut di sini. Mau nasi goreng atau mie
sedu ? Minumnya, bisa teh bisa kopi atau bisa memilih minuman botol dan kaleng.
Saking lapernya, makan di situ kok nikmaaat banget. Nggak tahu nasi gorengnya
memang enak, nggak tahu memang saya yang kelaperan.
Sangsang memikul barang bawaanku, |
Pas di kampung
inilah, saya ketemu orang-orang Baduy. Mereka memakai celana hitam, berbaju
putih dengan ikat kepalanya berwarna putih. Ternyata benar, rupanya mereka
memang orang-orang dari Baduy Dalam yang
sengaja menjemput kami. Wouw !
Mereka berdiri
bergerombol. Mereka menunggu tugas untuk mengawal tamu-tamunya menuju Baduy
Dalam, tepatnya di Desa Cibeo. Termasuk bagi yang tidak sanggup membawa
barang-barang bawaan, para pemuda Baduy inilah yang membawakannya.
Barang-barang itu ada yang dipikul, tapi ada juga yang dibawa di punggung.
“ Sangsang, ada
berapa SD di Cibeo ?”, tanya saya pada
Sangsang, pemuda yang membantu saya membawakan tas dalam perjalanan dari Desa
Cijahe ke Desa Cibeo.
“ Nggak ada bu “, jawabnya dengan logat Sunda.
“ Trus kamu
sekolah dimana ? Apa sekolah di desa lain?”, tanya saya penasaran.
“Saya nggak
sekolah bu”, jawab singkat ayah 2 anak ini.
“Tapi kamu lancar
ngomongnya”, jawab saya lagi.
Rupanya akibat
pergaulan dengan para tamu, mereka jadi belajar sedikit-sedikit bahasa
Indonesia. Hampir setiap minggu selalu ada saja tamu yang masuk ke Baduy
Dalam. Sementara salah satu tugas mereka
adalah membawakan barang para tamu-tamu. Rupanya interaksi dengan para tamu inilah membuat mereka pandai
berkomunikasi. Setidaknyalah 3 jam
mendampingi perjalanan jalan kaki itu menuju Desa Cibeo, membuat mereka selalu
saja ada penambahan perbendaharaan kata.
Senang juga
ngobrol dengan Sangsang yang terus
berada di dekat saya. Ia boleh jadi sebagai penunjuk jalan. Bila ada tanjakan
atau turunan yang berbahaya ia pun membantu saya. Hebatnya, meski membawa beberapa tas sekaligus
milik teman-teman, ia tetap kelihatan segar. Sementara saya sering sudah
ngos-ngosan. Huh !
Jembatan bambu di perbatasan Baduy Dalam dan Baduy Luar |
Nggak terasa saya
sudah sampai di sebuah jembatan bambu.
Jembatan bambu yang sama sekali tidak ada paku. Semua hanya ditali-tali saja. Jembatan ini jembatan perbatasan antara Baduy
Dalam dan Baduy Luar. Jadi begitu saya
menyeberang kali lewat jembatan, berarti saya sudah masuk kawasan Baduy Dalam. Itu
berarti saya tidak boleh lagi menggunakan semua alat elektronik. HP kudu
masuk dimatikan. Camera kudu
disimpan. Larangan memakai
alat elektronik di kawasan Baduy Dalam sudah saya ketahui sebelum menetapkan
jalan ke Baduy Dalam. Tapi begitu berhadapan dengan kenyataan, hadeuuuh !
Ntar
dulu ah. Ntar kalu sudah lewat jembatan,
saya pasti memasukkan semuanya.
Mendekati jembatan
saya masih potrat potret. Sangsang mengangingatkan
saya, bahwa saya sudah tidak boleh lagi memotret. Juga tidak boleh lagi
menggunakan HP. Iya sih, saya juga udah
tahu ( umpat saya dalam hati).
Jembatan bambu diperbatasan dilihat dari samping |
Tapiiiiiiiii, saya masih juga potrat potret. Yang jembatan
lah. Sungainya lah. Orang yang lewat jembatan lah. Dua gadis Baduy Luar yang
sedang bermain di sungai. Halah, nantilah sesudah jembatan saja saya matikan ke duanya. Dasar
nggak mau rugi lantaran di kali, saya masih keasyikkan memotret 2 anak gadis Baduy di kali.
Baru selesai
mikir begitu, tiba-tiba di depan saya muncul Mas Marsad ( Koordinator Pesona
Jawa). Lho, kok ia sudah di dekatku ? Padahal tadinya dia nggak kelihatan.
Nggak ada di dekatku. Soalnya saya lambat jalannya, banyak motretnya lagi. Jadi semakin ketinggalan.
Rupanya Mas
Marsad menunggu saya. Ia
mungkin sudah hafal, ditempat-tempat mana yang peserta trip bisa rada-rada bandel.
Melihat saya masih potret sana sini, ia mengingatkan saya.
He he heeee,
terpaksa deh nurut !
Ternyata
beneran lho nggak boleh motret.. Saya nggak bisa berkata-kata.
Saya
juga nggak mau melanggar ! *** (ira).
Sawah masih di Desa Cijahe - Baduy Luar. |
No comments:
Post a Comment