Saturday, August 24, 2013

Kecewa di Jembatan Bambu Baduy

Para Pemuda Baduy Dalam sedang berada di Baduy Luar.
Akhirnya saya jadi juga berangkat ke Baduy Dalam. Sebuah tempat yang membuat penasaran. Lantaran dari banyak info yang saya dapatkan, kampung ini masih amat menjunjung warisan budaya dan adat kehidupan dari leluhurnya. Sehingga di jaman yang serba canggih ini, dimana orang berlomba-lomba untuk bisa menggunakan alat-alat bantu  yang berteknologi tinggi dan cepat perubahannya, masyarakat di Kampung Baduy masih tetap hidup amat sederhana. Tak ada listrik. Tak ada radio. Tak ada televisi.  Kok bisa ya ?  Hare geneeee !


Sampai  suatu hari, saya sampai juga di Desa Cijahe yang merupakan salah satu desa di kawasan Baduy, Propinsi Banten. Pastinya di Baduy Luar. Desa persinggahan, tempat saya dan teman-teman mengawali perjalanan jalan kaki ke Baduy Dalam yang bakalan di tempuh antara 3 – 4 jam. Ada beberapa warung di situ. Lumayan, bisa mengisi perut di sini. Mau nasi goreng atau mie sedu ? Minumnya, bisa teh bisa kopi atau bisa memilih minuman botol dan kaleng. Saking lapernya, makan di situ kok nikmaaat banget. Nggak tahu nasi gorengnya memang enak, nggak tahu memang saya yang kelaperan.


Sangsang memikul barang bawaanku,
Pas di kampung inilah, saya ketemu orang-orang Baduy. Mereka memakai celana hitam, berbaju putih dengan ikat kepalanya berwarna putih. Ternyata benar, rupanya mereka memang orang-orang dari Baduy  Dalam yang sengaja  menjemput kami.  Wouw ! 

Mereka berdiri bergerombol. Mereka menunggu tugas untuk mengawal tamu-tamunya menuju Baduy Dalam, tepatnya di Desa Cibeo. Termasuk bagi yang tidak sanggup membawa barang-barang bawaan, para pemuda Baduy inilah yang membawakannya. Barang-barang itu ada yang dipikul, tapi ada juga yang dibawa di punggung. 

“ Sangsang, ada berapa SD di  Cibeo ?”, tanya saya pada Sangsang, pemuda yang membantu saya membawakan tas dalam perjalanan dari Desa Cijahe ke Desa Cibeo.
“ Nggak  ada bu “, jawabnya dengan logat Sunda.
“ Trus kamu sekolah dimana ? Apa sekolah di desa lain?”, tanya saya penasaran.
“Saya nggak sekolah bu”, jawab singkat ayah 2 anak ini.
“Tapi kamu lancar ngomongnya”, jawab saya lagi.

Rupanya akibat pergaulan dengan para tamu, mereka jadi belajar sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Hampir setiap minggu selalu ada saja tamu yang masuk ke Baduy Dalam.  Sementara salah satu tugas mereka adalah membawakan barang para tamu-tamu. Rupanya interaksi  dengan para tamu inilah membuat mereka pandai berkomunikasi.  Setidaknyalah 3 jam mendampingi perjalanan jalan kaki itu menuju Desa Cibeo, membuat mereka selalu saja ada penambahan perbendaharaan kata.

Senang juga ngobrol dengan Sangsang  yang terus berada di dekat saya. Ia boleh jadi sebagai penunjuk jalan. Bila ada tanjakan atau turunan yang berbahaya ia pun membantu saya.  Hebatnya, meski membawa beberapa tas sekaligus milik teman-teman, ia tetap kelihatan segar. Sementara saya sering sudah ngos-ngosan. Huh !

Jembatan bambu di perbatasan Baduy Dalam dan Baduy Luar

Nggak terasa saya sudah  sampai di sebuah jembatan bambu. Jembatan bambu yang sama sekali tidak ada paku. Semua hanya ditali-tali saja.  Jembatan ini jembatan perbatasan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar.  Jadi begitu saya menyeberang kali lewat jembatan, berarti saya sudah masuk kawasan Baduy Dalam. Itu berarti saya tidak boleh lagi menggunakan semua alat elektronik. HP kudu masuk  dimatikan. Camera kudu disimpan. Larangan memakai alat elektronik di kawasan Baduy Dalam sudah saya ketahui sebelum menetapkan jalan ke Baduy Dalam. Tapi begitu berhadapan dengan kenyataan, hadeuuuh ! 

Ntar dulu ah.  Ntar kalu sudah lewat jembatan, saya pasti memasukkan semuanya.
Mendekati jembatan saya masih potrat potret. Sangsang  mengangingatkan saya, bahwa saya sudah tidak boleh lagi memotret. Juga tidak boleh lagi menggunakan HP.  Iya sih, saya juga udah tahu ( umpat saya dalam hati).

Jembatan bambu diperbatasan dilihat dari samping


Tapiiiiiiiii,  saya masih juga potrat potret. Yang jembatan lah. Sungainya lah. Orang yang lewat jembatan lah. Dua gadis Baduy Luar yang sedang bermain di sungai. Halah, nantilah  sesudah jembatan saja saya matikan ke duanya. Dasar nggak mau rugi lantaran di kali, saya masih keasyikkan memotret  2 anak gadis Baduy di kali.

Baru selesai mikir begitu, tiba-tiba di depan saya muncul Mas Marsad ( Koordinator Pesona Jawa). Lho, kok ia sudah di dekatku ? Padahal tadinya dia nggak kelihatan. Nggak ada di dekatku. Soalnya saya lambat jalannya, banyak motretnya lagi.  Jadi semakin ketinggalan.
Rupanya Mas Marsad  menunggu  saya.  Ia mungkin sudah hafal, ditempat-tempat mana yang peserta trip bisa rada-rada bandel. Melihat saya masih potret sana sini, ia mengingatkan saya.

He he heeee, terpaksa deh nurut !  
Ternyata beneran lho nggak boleh motret..                                                                                                 Saya nggak bisa berkata-kata.                                                                                                            
Saya juga nggak mau melanggar ! *** (ira).

Sawah masih di Desa Cijahe - Baduy Luar.





No comments:

Post a Comment

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden