Saturday, December 21, 2013

Cerita dari Baduy Dalam

Jalan berbatu seperti ini ya berupa tangga ataupun yang datar banyak
terdapat diperkampungan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
( lokasi foto : Baduy Luar)

Menjelang magrib, saya tiba di Baduy Dalam. Suasana sudah agak gelap ditambah hawa yang mulai dingin lantaran hujan rintik tak juga berhenti. Rasa lelah perjalanan selama 3 jam itu, sirna sudah.


Begitu nyampe, saya hanya berkomentar “ Oh, gitu tho !”. Soalnya yang saya lihat banyak samanya antara di Baduy Luar dan Baduy Dalam. Hanya saja selama ini kan memang tidak ada orang yang mau melanggar. Artinya orang-orang yang datang ke Baduy Dalam, semua patuh pada aturan untuk tidak memotret apa pun di sana. Ya, aturan tidak boleh memotret itu berlaku. Mereka yang datang tak mau memotret, entah takut kualat, entah memang amat menghormati adat setempat.


Rumah-rumah di Baduy Dalam, bentuknya juga sama seperti rumah-rumah di Baduy Luar ini.
( Lokasi foto : Baduy Luar)

Maklumlah, sudah lama sekali saya ingin datang ke Baduy Dalam. Jadi setiap ada pemberitaan tentang Baduy Dalam dan Baduy Luar saya pasti memperhatikan. Apakah itu di media sosial atau pun di media massa. Ujung-ujungnya foto-foto yang tampil adalah Baduy Luar bukan Baduy Dalam. Tapi dengan saya datang sendiri, terobatilah rasa penasaran itu.

Perhatian saya justru pas masuk di kampungnya dengan rumah kayu yang serba berdempetan di Kampung Cibeo. Asyik banget, soalnya kalau sore begitu para ibu kongkow di depan rumahnya. Mereka biasanya mengawasi anak-anaknya yang bermain-main. Mencermati keceriaan anak-anak di tengah kampung itu. Rumah mereka berjajar ke samping, tapi juga berhadapan dengan rumah-rumah tetangga di bagian depan. Begitu dekatnya antara rumah satu dengan rumah yang lain.


Keceriaan anak-anak di Kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar sama.
Hanya saja, anak-anak di Baduy Dalam berpakaian hanya berwarna putih atau hitam.
(Lokasi foto : Baduy Luar)

Pantesan saja, saya pernah beberapa kali membaca di media massa perkampungan Baduy Dalam yang terbakar. Soalnya sudah rumah mereka terbuat dari kayu dan bambu, letaknya berdekatan pula. Satu terbakar, merembetlah segera. Letak kampungnya saja dikelilingi bukit, akses ke kawasan ini sementara masih jalan setapak, mana bisa mobil pemadam kebakaran masuk ke kampung itu.

Saya dan teman-teman menuju rumah pak Nalim tempat kami menginap. Saya dan beberapa teman tak langsung masuk rumah untuk memasukkan barang bawaan. Saya lalu duduk di anak tangga rumah panggung itu, bersama beberapa teman. Sambil duduk-duduk, saya memperhatikan para ibu dan anak-anak Baduy itu.

OMG ! Betapa saya terpesona melihat anak-anak yang bersahaja itu. Pakaian mereka berwarna hitam dan putih. Atau hitam-hitam. Semua hasil tenunan para emak di kampung itu. Saya juga sempat melihat ibu-ibu yang sedang menenun. Dulu, hasilnya memang dipakai sendiri untuk suami dan anak. Tapi sekarang mereka mulai juga menenun yang hasilnya dan dijual ke Baduy Luar.


Di Baduy Dalam sempat ketemu penenun juga,
seperti penenun ini di Baduy Dalam.
(Lokasi Foto : Baduy Luar)
Anak-anak kecil di sana juga didandanin lhoooo. Tangan anak perempuan, memakai gelang untaian akar pohon. Ada juga yang menggunakan manik-manik berwarna warni. Yang lebih dewasa menggunakan kalung dari benang dengan monte-monte. Saya lalu teringat dengan anak-anak Suku Dayak di Kalimantan atau pun anak-anak di Chiangmay Thailand Utara.

Saya keluar kan permen. Lalu mereka mendekat. Awalnya hanya melihat pada saya, lalu tengok kiri dan kanan pada teman-temannya. Akhirnya mereka mau juga. Malu-malu. Sambil ketawa ketiwi. Senyum. Saya tahu mereka ingin bilang terima kasih. Tapiiiiii suara itu tak keluar. Namun dari ekspresinya saya tahu mereka ingin bilang : “Terima kasih “. Ada yang tetap dekat, ada juga yang lari. Benar-benar suasana anak-anak bermain.

Saya masih tetap duduk-duduk di depan rumah. Saya memperhatikan semua yang ada di depan saya. Ada anak yang sedang menyusu pada ibunya. Ada seorang ibu yang sedang mencarikan kutu di kepala anaknya. Belum lagi keceriaan anak-anak bermain yang semua hanya bisa saya abadikan dalam pikiran saya. Hiks sedihhh !

Baru saya menyesal lantaran tidak bisa melukis. Seandainya bisa melukis, semuanya pasti saya lukis menjadi gambar-gambar kehidupan masyarakat Baduy. Foto human interest yang menarik tentunya. Sekali lagi, saya terbengong-bengong, sambil menyesal. Menyesal soalnya tak bisa memotret aktifitas anak-anak itu. Saya dan teman-teman hanya bisa melihat dan melihat saja. Duh, pengen nangis !


Asli cantiknya. Cewek muda di Baduy Dalam juga cantik seperti cewek di Baduy Luar ini.

Bagi saya, perempuan di Kampung Baduy Dalam itu cantik-cantik. Mereka hanya memakai kain hitam untuk bawahannya. Atasannya ada baju model kebaya, ada juga yang hanya memakai kutang. Kulitnya bersih dan rambutnya tebal dan hitam. Mungkin lantaran makanan mereka sehari-hari itu belum tercampur bahan kimia yang macam-macam. Inilah mungkin yang disebut cantik alami.

Di Baduy Dalam
 saya juga ketemu dengan wanita muda yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya.
Hanya saja pakaian mereka itu hanya berwarna hitam dan putih, belum berwarna warni seperti di Baduy Luar.
(Lokasi foto : Baduy Luar)
Semalaman itu saya merasa terkesan banget. Mungkin lantaran saya bisa mandi di kali bareng – bareng di tempat para wanita. Nggak ada shampoo dan juga nggak pake sabun. Makanya airnya tetap jernih. Duh, segernya air yang mengalir. Di kali ini, mereka mandi dan sekaligus mencuci pakaian juga perlengkapan dapur dan makan minum. Untuk air minum juga dari kali itu, mereka membawa air minumnya dengan bambu-bambu.

Di Baduy Dalam, saya juga mandi di sungai seperti ini.
Tanpa sabun dan shampoo
(Lokasi : sungai di Baduy Luar).

Malemnya, horeeee ! Nggak ada listrik. Jadi lampunya ya lampu minyak. Malam itu, setelah makan malam, acaranya bebas. Jadi ada yang duduk-duduk di dalam rumah atau diberanda rumah, ada yang jalan-jalan di dalam kampung. Saya termasuk dengan beberapa teman yang memanfaatkan situasi. Ngobrol dengan tuan rumah. Obrolan tentang kehidupan.

Kami ngobrol di ruang serba guna. Seru juga sih. Rumah itu memang tidak tersekat-sekat. Begitu masuk ya langsung sebuah ruang besar yang bisa digunakan macam-macam. Begitu dateng kami ya di ruang itu, makan-makan disitu. Kongkow ya di situ dan tidur pun di situ. Perempuan di sisi kiri, dipisahkan oleh ruas pintu masuk dan lelaki di sisi kanan.

Untung saya orangnya gampang tidur dimana aja. Jadi begitu selesai ngobrol dengan pak Nalim dan teman-teman, saya langsung tidur. Nyenyak banget. Terbangun saat ayam berkokok. Suara yang tidak pernah lagi saya dengar, lantaran sekarang kalau pagi dibangunkan dengan alarm di hand phone.


Saya sempat melihat ayam-ayam yang tergantung ini di Baduy Dalam.
Suaranya dipagi hari, membuat saya terbangun.
( Lokasi : Baduy Luar )

Pagi harinya, setelah beberes, mandi, makan pagi, kami pulang jam 7 pagi. Rasanya begitu cepat di sana. Perjalanan yang ditempuh, dari desa Cibeo menuju Baduy Luar tepatnya Ciboleger, masih panjang. 5 jam an gitu jalan kaki. Perjalanan kali ini lebih berat dari waktu berangkat. Banyak tanjakan yang curam dan banyak jalan yang menurun.

Meski hanya sekejap di Baduy Dalam, paling tidak saya tak penasaran lagi. Suatu saat saya pasti kangen dan bakal kembali lagi ke kampung itu. (*** ira).

Catatan :
Semua foto adalah foto yang diambil di Baduy Luar.



No comments:

Post a Comment

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden