Panorama di Gili Lawa |
Ini lah salah satu pemandangan paling keceh Gili Lawa di Kawasan Taman Nasional Komodo
(TNK) - Nusa Tenggara Timur (NTT). Kali
ini panorama cantik ini tak lagi hanya saya lihat di media massa atau pun di
media sosial. Saya sudah berdiri tegak bersama teman-teman di puncak bukit Gili
Lawa. Daaan menyaksikan keindahan alam semesta ciptaan yang Maha Kuasa dari
atas, dari ketinggian puncak bukit Gili Lawa.
Yuhuy ...........
Akhirnya saya sampai juga di Kawasan Taman Nasional
Komodo (TNK). Waktu itu, berangkat dari
Pelabuhan Kayangan di Lombok menuju ke
kawasan Taman Nasional Komodo. TNK ini
dikenal sebagai salah satu dari 7 Wonders
of Nature. Setelah di sini saya baru
tahu kalau TNK itu kawasannya laut dengan banyak pulau-pulau. Jadi kemana pun mata memandang yang saya
lihat memang laut dengan pulau-pulau kecil yang berupa perbukitan. Coklat
kekuningan warnanya lantaran di musim kemarau. Namun bila musim hujan, tanaman
dibukit-bukit itu berwarna hijau.
Sebelumnya taman nasional yang pernah saya datangi yaitu kawasan pegunungan dengan hutan-hutannya.
Seperti Taman Nasional (TN) Baluran, TN
Bantimurung, TN Kelimutu, TN Bromo Tengger Semeru dan masih beberapa lainnya. Jadi perjalanan saya kali ini benar-benar mendapatkan
sebuah wawasan yang baru, pemandangan yang lain dan tentu pengalaman traveling
yang berbeda lantaran mengikuti Kapal Phinisi Live on Board. Duh hidup di kapal selama 3 hari 4 malam gitu.
Salah satu pengalaman yang berbedanya tuh gini. Di
perjalanan ini ada 3 pulau yang kami kunjungi diantaranya Kepulau Padar, Pulau
Kenawa dan Gili Lawa. Ternyata 3 pulau ini tak berpenghuni. Trus ternyata di 3
pulau ini kami musti naik bukit dulu dan disitulah uniknya. Ternyataaaa
kami disuguhi pemandangan yang luar
biasa cantiknya dari ketinggian. Keren.
Indah daaaan entah dengan kata-kata apalagi untuk mengungkapkan keindahan dunia
milik Sang Pencipta. Meski untuk mendapatkannya harus bersusah payah dulu.
Saya ingat banget, saat saya
akan masuk ke Gili Lawa. Kalau belum ngeliat sendiri, kan nggak bisa
membayangkan seperti apa. Lihat di blog orang foto-foto Gili Lawa kan juga
terbatas. Gak seperti kalau kita melihat alamnya sendiri seperti apa. Di ruang yang tak terbatas.
Waktu itu saya dan
teman-teman naik kapal phinisi yang berlayar
dari Lombok. Malam itu terus terang,
saya tak bisa tidur. Tiba-tiba Anggun teman sekamar bangun dan turun mau ke
kamar kecil. Saya juga ikutan mumpung ada teman ke bawah. Angin kencang sekali.
Ombak juga besar. Di dek kapal, saya melihat teman-teman juga tidur lelap
berhamparan di atas alas tidurnya masing-masing.
Semua pakaian yang dijemur bergoyang keras. Saya juga
berpegangan pada apa yang bisa saya pegang agar tidak terjatuh. Di luar gelap sekali. Hitam. Pekat dan tak
ada bintang sama sekali. Suara mesin phinisi juga tak terdengar lagi kalah
dengan suara ombak. Selesai di toilet kami naik ke kamar lagi dan bersyukur
bisa tidur lelap.
Pas terbangun, ternyata kapal sudah berhenti di dekat Gili
Lawa.
Saya dan teman-teman sudah bersiap-siap turun ke kapal yang
lebih kecil untuk membawa saya dan teman-teman ke daratan. Dari atas kapal saya
melihat lampu-lampu kecil mengular dari bawah ke atas. Wuih, jalur
trekkingnya lumayan kemiringannya. Curam.
“Ih, padet gitu ya itu orang yang jalan ke atas dengan lampu
senternya”, seru seorang teman saat kami berkumpul untuk turun ke kapal kecil.
“Tinggi banget ya kayaknya”, celetuk yang lain.
“Kuat nggak ya naik sampai di atas?”, terdengar nada pesimis.
“Kuaaaat. Masih pada muda-muda”, begitu percakapan yang
saling memberikan semangat agar semua
teman bisa tiba di puncak bukit.
“Pelan-pelan aja. Cape berhenti. Yang penting sampai atas”,
begitu kata saya menguatkan. Padahal dalam hati, saya juga mikir. Kuat nggak ya
saya sampai atas. Pokoknya saya berusaha.
Pas sudah turun dari kapal kecil, saya tiba di Gili Lawa dan
memulai perjalanan ke atas. Saya jalan
bareng Anggun teman sekamarku. Sebuah
teriakan yang mengingatkan untuk tidak
merokok terdengar berkali-kali. Semua
mematuhi himbauan itu.
Hawanya masih terasa segar.
Udaranya juga bersih. Terasa banget
sewaktu masuk di dada. Saya nikmati banget keleluasaan bernafas di udara yang
bersih itu. Nggak sekedar lewat saja.
Hari mulai sedikit
terang. Saya jalan perlahan-lahan. Capek ya brenti. Kalau ada batu ya nyender
di batu. Sambil minum air yang saya bawa. Anak-anak muda satu persatu menyusul
saya. Mereka juga ngos-ngosan. Saya juga begitu, ngos ngosan. Tapi mereka masih
muda. Masih lebih kuat. Jadi jalannya lebih cepat.
Kadang harus berhenti massal. Artinya ada jalan yang sulit.
Di atas agak macet. Jadi musti antri. Semua berhenti. Kalau sudah begini, saya
bersyukur. Lumayaaaan. Ada kesempatan berhenti dan ambil nafas. Slurp. Seteguk
air mengaliri kerongkongan saya.
Akhirnya saya sampai juga di atas, dengan waktu kurang lebih
50 menit. Di puncak pertama saya
berhenti dan rata-rata semua orang juga duduk-duduk menikmati tempat pemberhentian
pertama. Pemandangannya luar biasa.
Lautnya tenang. Awannya mulai ada merahnya. Keindahan di kegelapan itu sudah
mulai nampak.
Pemandangan pertama, saat matahari mulai tersenyum. |
Ketika saya melihat puncak yang kedua, :
“Anggun kayaknya ke tempat yang lebih atas itu
lebih cantik deh”, begitu usulku pada Anggun.
“Let’s go!”, Anggun langsung menuju atas. Saya pun ikut
dibelakangnya.
Ternyata benar, pemadangan di titik perhentian ke dua itu
lebih luas pandangannya. Jadi kelihatan lebih indah. Langsung deh pasang aksi
semua. Cetret sana. Cetret sini. Selfie sana sini. Puas sebentar. Ujung-ujungnya
juga ..... Go ...... to the top.
Rudiawan, Sam dan Anggun. Foto terusssss ! |
Warna warni rumputnya juga bikin cantik |
Hayooook naik lagi. Lebih tinggi lagi. Daaaan sampai deh di puncak yang ke tiga.
Di puncak yang ke 3 ini, wah inilah yang paling tinggi.
Muter 360 derajat kelihatan semuanya. Ya
punggung-punggung bukitnya. Ya lautnya yang maha luas. Wouw ............ Super duper kereeeen. Semua rasa
letih dan hah heh hoh kecapekan lupaaaa.
Semua terbayar dengan keindahan yang kecehnya nggak abis-abis.
Lihat tuh kesono. Laut terhampar mengelilingi pulau.
Matahari masih terus mengintip. Awannya kuning biru kemerahan. Air laut pun merupakan pantulan cahaya matahari.
Punggung-punggung bukit naik turun berwarna warni. Kuning hijau dan aduhai ada
yang ke coklatan. Luar biasa indah. Itulah pesona Gili Lawa Darat.
Ada pohon yang tumbuh subur diantara savana yang meranggas |
Gili Lawa lautnya di bawah sana. Beda lagi pemandangannya. Itu
lautnya biru bergradasi. Biru tua ada warna toscanya. Di laut biru itu, lekuk daratannya menjorok
kelaut seakan hendak memisahkan laut yang
satu dengan tetangganya. Dan di situ bertebaran kapal-kapal pelancong. Duh,
sampai susah mau bilang indahnya pemandangan yang spektakuler ini kayak apa.
Perpaduan warna laut dan daratan yang super keren |
Saya mengikuti teman-teman lain yang berpindah dari punggung
bukit yang satu ke punggung bukit lainnya. Di situlah indahnya. Lantaran setiap
arena menyuguhkan pemandangan yang tak pernah sama. Urusan dan naik turun bukit
sudah tidak menjadi masalah lagi. Pas berada di sebuah bukit, saya dan Anggun sempat meminjam properti foto
salah satu travel agency.
Sampai jam 8 lebih
belum ada satu pun yang turun untuk kembali ke kapal. Padahal seharusnya sudah
berada dikapal kembali. Yah siapa juga yang mau meninggalkan pemandangan cantik
begini. Teriakan teriakan untuk segera turun sudah mulai terdengar. Waduh berat
juga untuk ninggalin pemandangan cantik model begini. Tapiiiiii ya harus segera turun. Jangan
sampai semua telat gara-gara saya. Perlahan-lahan saya turun, Kehebohan di Puncak Gili Lawa itu harus saya tinggalkan.
Ternyata pulau ini memang tidak ada penghuninya. Orang yang
kesini hanya menikmati pemandangan dari ketinggiannya saja. Dan menikmatinya sambil turun kembali menuju
perahu di daratan. Sayang kami hanya
bisa menikmati keindahan alam di sana saja. Padahal pemandangan alam bawah laut
di kawasan Gili Lawa juga terkenal keindahannya. Bahkan untuk bermain kecipak
cecipuk air di pantai pun kami tak
sempat.
Para tamu hanya datang dan pergi. Bisa pagi. Bisa siang. Bisa sore. Setelah itu
langsung naik perahu dan meninggalkan Gili Lawa. Para penjual makanan dan minuman yang mulai ada di gili itu juga hanya sampai sore. Ketika matahari turun,
malam tiba, mereka meninggalkan pulau itu. Daan gili itu sendiri lagi di malam hari.
Inilah gambaran keindahan dari Gili Lawa, sebuah pulau yang
disebut-sebut sebagai Pintu Gerbang menuju Taman Nasional komodo, bila kita
memasuki kawasan Taman Nasional Komodo dari Pulau Lombok. **** (ira).
Tips Perjalanan :
1. Untuk ke Taman Nasional Komodo (TNK), bisa dicapai dengan
naik kapal-kapal yang berangkat dari Pulau Lombok menuju pelabuhan di Kota
Labuan Bajo. Atau bisa langsung mencari kapal- kapal yang disewakan di Pelabuhan
Labuan Bajo.
2. Sebaiknya pergi beramai-ramai karena harga sewa kapalnya
mahal. Dengan beramai-ramai, harga kapal
bisa ditanggung bersama.
3. Harga kapal dan
paket-paket yang ditawarkan bisa beraneka ragam. Pilih yang sesuai dengan kemampuan fisik dan keuangan.
4. Siap untuk mendaki ke puncak bukit.
5. Bawalah sepatu yang enak untuk trekking. Kacamata. Topi. Juga air minum. Khawatir pas
tiba di sana terlalu pagi, belum
ada penjual minuman.
5. Waktu itu saya berangkat dengan Travelmate Indonesia.
Bisa lihat akun FB dan IG nya.
*****
Membaca tulisan ini, serasa mengembalikan saya kesana, dan merasa harus kembali lagi kesana, menikmati exotisme kepulauan Komodo bersama teman travel yang "always keep enjoy & funny fight" apalagi ditambah cerita pengalaman travelling lainnya di indahya Negriku yang di share bu Ira. Jadi pingin selalu sehat dan cari rejeki, biar tetap bisa jalan-jalan
ReplyDeleteTrima kasih sudah mampir ya Anggun. Kangen banget bisa sekamar lagi pas ngetrip.Saling sharing pengalaman ngebolang.
ReplyDelete