Tari Caci |
Saya paling suka dengan
tari-tarian adat yang ada unsur peperangan ataupun pertarungan. Seru nontonnya. Di
Indonesia begitu banyak tarian semacam itu. Salah satunya adalah Tari Caci yang
khas Manggarai dari NTT (Nusa Tenggara Timur). Kalau nonton di televisi atau di
media social sudah sering. Tapi nonton aslinya itu lho yang saya inginkan. Sampai
di suatu saat kesempatan itu datamg. Saya nonton Tari Caci di pelosok. Di kampung Waerebo. Halah … jauhnya!
Sebenarnya
nonton Tari Caci di Waerebo itu bukan tujuan utama. Soalnya kalau saya niat
Tari Caci ini bisa juga saya dapatkan misalnya di Jakarta di TMII (Taman Mini
Indonesia Indah) di Anjungan NTT. Tinggal cari jadwalnya, pasti ada. Untuk saya
yang tinggal di Bandung, sebenarnya ini mudah dilakukan. Tapi belum ada
kesempatan.
Waktu
itu akan ada acara adat Penti yang
digelar di Waerebo. Inilah yang ingin saya tonton. Perhelatan yang
diselenggarakan setiap tanggal 16 November ini merupakan warisan leluhur di
kampung itu. Tradisi pesta adat yang diselenggarakan setahun sekali itu tujuannya
untuk menyampaikan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada Tuhan dan leluhur
mereka atas hasil panen dan sebagai perayaan
menyambut tahun baru bagi warga Manggarai di Waerebo (sesuai kalender mereka).
Suasana Waerebo saat perhelatan Adat Penti |
Ternyata
untuk menyaksikan perayaan Adat Penti itu serunya tak hanya perhelatannya
saja. Soalnya perjalanan ke Waerebo yang
jauh itu juga menjadi penuh cerita. Kalau perjalanan yang naik mobil, walau pun jauh dan lama ya tak masalah. Seperti yang saya tempuh dari Labuan Bajo ke Desa Denge selama 7 jam, desa terakhir
sebelum menuju ke Waerebo.
Esok
paginya itu lho. 4,5 km masih naik ojek,
turun di ujung jalan setapak ke Waerebo. Begitu naik ojek berakhir, inilah
perjuangan lanjutannya. Waaa … jalan kaki 5 km menanjak terus. Untunglah jalan
yang saya lewati itu melewati hutan kecil. Banyak pohon dan teduh. Hijau
suasananya. Bikin suasana adem, hati jadi dingin. Mata juga enak melihat yang
hijau-hijau.
Yang
menarik dalam perjalanan ini adalah orang-orang asli Waerebo yang gesit-gesit. Mereka yang mungkin tinggal
di Maumere, Ende, Labuan Bajo atau daerah lain di luar Waerebo, pulang kampung
menyambut upacara adat Penti. Nggak tua, nggak muda jalannya kenceng. Padahal
mereka paling pake sandal jepit. Kadang tanpa alas kaki. Wih, jalannya cepet
sekali. Sementara para pelancong, udah
sepatu gunungnya keren, bawa tongkat juga model terkini. O la la, jalannya lelet. Dikit-dikit berhenti.
Seorang penari siap tempur |
Makin
dekat makin terdengar bunyi tetabuhan musik adat. Irama musik itu bagaikan menyambut
tamu-tamunya yang datang dari berbagai penjuru dunia dan negeri ini. Rasanya
nggak sabar. Ingin cepat sampai di lokasi. Sepertinya sudah dekat tapi jalannya
masih mutar muter. Mendekati lokasi
lumayaaan, jalanan ada menurunnya.
Benar
juga, pas kami datang, halaman di depan 7
rumah adat itu sudah berisi banyak orang menonton Tari Caci yang sudah tergelar. Setelah
berjumpa dengan para tetua adat barulah saya bergabung menonton di situ.
Bersama para tamu lainnya dan masyarakat Waerebo. Begitu melihat ini semua,
rasanya jalan kaki yang lamanya 2,5 jam itu tak berasa apa-apa. Rasa capek,
haus, keringetan, juga entah rasa apalagi,
semua sirna.
Penonton menggunakan tenun dan selalu siap membidik. |
Sebenernya
tontonan yang ada di depan saya itu apa sih? Tari caci adalah tari perang sekaligus permainan rakyat yang
dibawakan oleh sepasang penari laki laki. Pasangan tersebut bertarung dengan cambuk dan perisai. Meski menari
bersama, tapi peran mereka berbeda. Penari yang bersenjatakan cambuk bertindak
sebagai penyerang. Lawannya lain lagi perannya, karena ia harus bertahan dengan menggunakan perisai dan busur
berjalin rotan.
Serunya
tuh di sini ….
Ketika
sipembawa cambuk berusaha memecut lawannya dengan pecut yang dibuat dari kulit
kerbau/sapi. Ditujukan ke badan lawan. Lawannya berusaha menangkis lecutan tadi dengan perisai dan busur berjalin
rotan. Kalau lawan dapat menangkis, maka cambuk tadi tidak akan kena badannya.
Di sinilah seninya ....
Sambil menari yang satu berusaha mengayun-ayunkan pecutnya. Sedangkan lawannya berusaha menangkis pecut tadi agar tak terkena badannya. Jika mata berdarah kena cambuk, pemain lansung dinyatakan kalah, ke 2 pemain langsung diganti dengan pemain yang baru.
Di sinilah seninya ....
Sambil menari yang satu berusaha mengayun-ayunkan pecutnya. Sedangkan lawannya berusaha menangkis pecut tadi agar tak terkena badannya. Jika mata berdarah kena cambuk, pemain lansung dinyatakan kalah, ke 2 pemain langsung diganti dengan pemain yang baru.
Tuh kalau yang terluka |
Terkadang
ngeri mendengar cambukan-cambukannya. Apalagi kalau cambuknya kena bagian
belakang tubuh lawan. Hi …darah mengucur. Kalaupun darah tak mengucur, melihat
guratan merah bekas pecut-pecut di bagian tubuh pemain itu, gak tegaaa!
Mereka
memang menari, beradu dan berpantun. Saat mereka berpantun, kayaknya sih lucu.
Soalnya penonton tertawa-tawa yang mengerti artinya. Sedang tegang-tegangnya
melihat perang mereka, sesudah cambuk-cambukan, lantaran yang satu berdarah
punggungnya, eh, si pemegang pecut itu berbalik menghadap penonton. Trus
berteriak dan yang saya ingat hanya ini, kata-katanya :
“Cocoook?”, teriak si pemuda pemegang pecut sambil
berjingkat-jingkat.
“Cocoook!”, jawab para
penonton.
“Puas?”, tanya si
penari sekali lagi.
“Puas!”, jawab penonton
yang juga tertawa melihat mimik lucu si penari. Lalu ia meninggalkan penonton
dengan gaya jingkat-jingkat. Lari meninggalkan penonton, dengan hiasan kuningan
dipinggulnya yang bergoyang-goyang.
Kalau sudah pegang mike, berarti siap berpantun. |
Begitulah prinsip Tari Caci itu, setelah 2 orang
bertarung selesai, diganti dengan petarung berikutnya. Kadang tegang saat
mereka bertarung, tapi juga tertawa saat berpantun, menari dan bernyanyi diiringi dengan tetabuhan
musik tradisional adat setempat. Kocak. Pendukung tim dan penonton juga tak
kalah seru. Mereka berteriak-teriak dalam memberikan dukungan pada para
penari-penari yang sedang perang itu. Hajar saja, maunya penonton. Anehnya juga
penari-penari itu kayaknya menikmati peran mereka. Terutama yang terkena pecut
badan bagian belakangnya, mereka santai. Tertawa-tawa.
Jujur, saya puas sekali nonton Tari Caci di kampung ini. Tariannya
meriah, dinamis ditambah dengan teriakan-teriakan para supporter dengan bahasa gaul
mereka. Suasana pedesaan yang masih alami, musik tradisional pengiring tarian,
kostum penarinya dan keramahan masyarakat setempat semua menjadi suatu kesatuan
yang menampilkan ciri khas kampung itu. Apalagi ditengah kemeriahan tersebut, muncul
suguhan kopi asli Waerebo. Wah … serasa banget sambil nonton ditemani kopi
panas.
Siang hari, kira-kira pas jam 3 siang, atraksi Tari Caci
selesai. Tarian tersebut digelar memang dalam rangka menyambut tamu-tamu yang
datang. Selanjutnya adalah acara pokok dari perhelatan Adat Penti.
Tarian Caci anak-anak di Waerebo |
Sambil menanti acara
berikutnya, penonton bebas. Saya pun
duduk-duduk di rumput dengan tamu-tamu lainnya. Tanpa kami sadari, ternyata
kami dapat suguhan lain. Dihadapan kami, anak-anak kecil sedang bermain.
Ternyata mereka ikut-ikutan juga bertarung seakan mereka penari caci. Perlengkapan
mereka terbuat dari daun rotan juga. Otomatis dong kami tertawa-tawa melihat
kelucuan anak-anak. Benar-benar hiburan asli anak-anak.
Bercerita dengan anak-anak |
Permainan anak-anak
membuat saya teringat masa kecil, kalau
baru ada pertandingan SEA GAMES ataupun kejuaraan olahraga lainnya di televisi.
Biasanya anak-anak demam dengan olahraga yang baru disiarkan. Biasanya badminton
atau bola.
Bagian dari acara adat Penti. |
Ini baru cerita Tari
Caci. Acara adat Pentinya bakalan menjadi cerita yang panjang. Sebab masih
banyak rangkaian acaranya yang berlangsung dari
sore itu hingga pagi hari. Pastinya malam itu kami tidur diiringi suara doa-doa dan puji-pujian pada Tuhan
dan leluhur mereka yang diselenggarakan di rumah ketua adat Waerebo. Suaranya jelas terdengar lantaran disambungkan
dengan pengeras suara sehingga dapat diikuti
semua orang di kampung itu dari rumahnya masing-masing. Anehnya meski
keras suaranya, tapi kami tidur pulas. Mungkin saking capeknya. Begitu bangun,
matahari sudah terbit. Dan saya yang dalam perjalanan ini ditemani Erni dari De Plesiran De Mlaku-mlaku dan Arman dari Komodo Trip, bergegas packing untuk kembali lagi ke Denge
meninggalkan Waerebo. ** ira**.
Hi ibu Ira, terima kasih banyak telah menulis banyak tentang tarian Caci. Tarian khas daerah saya. Saya bangga telah menghantar ibu ke Waerebo.
ReplyDeleteSaya tambahkan beberapa hal di bawah ini.
Tarian caci selain menguji ketangkasan para pemainnya, juga merupakan tarian persahabatan. Terluka atau kalah sekalipun bukan masalah, toh selama permainan mereka tertawa dan pada akhir permainan mereka berjabatan tangan. Luka kena cambuk adalah persembahan kepada Tuhan dan leluhur. Dengan demikian, tarian caci merupakan tarian yang sakral, yang hanya dilakukan dalam event tertentu, seperti Penti, Tabhisan pastor dan kadang pada hari HUT kemerdekaan 17 Agustus.
Hi juga mas Arman. Trima kasih sudah menanggapi tulisan saya. Saya juga seneng banget bisa main ke Waerebo apalagi nonton tarian Caci. Ntar koreksi mas Arman mau saya masukkan dlm tulisan tersebut. Ntar kalo udah di edit saya beri kabar.
ReplyDelete