Friday, May 5, 2017

Waerebo Punya Cerita

Tari Caci 
Saya paling suka dengan tari-tarian adat yang ada unsur peperangan ataupun pertarungan.  Seru nontonnya.   Di Indonesia begitu banyak tarian semacam itu. Salah satunya adalah Tari Caci yang khas Manggarai dari NTT (Nusa Tenggara Timur). Kalau nonton di televisi atau di media social sudah sering. Tapi nonton aslinya itu lho yang saya inginkan. Sampai di suatu saat kesempatan itu datamg. Saya nonton Tari Caci di pelosok. Di  kampung Waerebo.  Halah … jauhnya!
                                                                       

Sebenarnya nonton Tari Caci di Waerebo itu bukan tujuan utama. Soalnya kalau saya niat Tari Caci ini bisa juga saya dapatkan misalnya di Jakarta di TMII (Taman Mini Indonesia Indah) di Anjungan NTT. Tinggal cari jadwalnya, pasti ada. Untuk saya yang tinggal di Bandung, sebenarnya ini mudah dilakukan. Tapi belum ada kesempatan.

Waktu itu akan ada  acara adat Penti yang digelar di Waerebo. Inilah yang ingin saya tonton. Perhelatan yang diselenggarakan setiap tanggal 16 November ini merupakan warisan leluhur di kampung itu.  Tradisi  pesta adat  yang diselenggarakan setahun sekali itu tujuannya untuk menyampaikan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada Tuhan dan leluhur mereka atas hasil panen dan sebagai perayaan menyambut tahun baru bagi warga Manggarai di Waerebo (sesuai kalender mereka).

Suasana Waerebo saat perhelatan Adat Penti
Ternyata untuk menyaksikan perayaan Adat Penti itu serunya tak hanya perhelatannya saja.  Soalnya perjalanan ke Waerebo yang jauh itu juga menjadi penuh cerita. Kalau perjalanan yang naik mobil,  walau pun jauh dan lama  ya tak masalah. Seperti yang saya tempuh dari  Labuan Bajo  ke Desa Denge selama 7 jam, desa terakhir sebelum menuju ke Waerebo.

Esok paginya itu lho.  4,5 km masih naik ojek, turun di ujung jalan setapak ke Waerebo. Begitu naik ojek berakhir, inilah perjuangan lanjutannya. Waaa … jalan kaki 5 km menanjak terus. Untunglah jalan yang saya lewati itu melewati hutan kecil. Banyak pohon dan teduh. Hijau suasananya. Bikin suasana adem, hati jadi dingin. Mata juga enak melihat yang hijau-hijau.

Yang menarik dalam perjalanan ini adalah orang-orang asli Waerebo  yang gesit-gesit. Mereka yang mungkin tinggal di Maumere, Ende, Labuan Bajo atau daerah lain di luar Waerebo, pulang kampung menyambut upacara adat Penti. Nggak tua, nggak muda jalannya kenceng. Padahal mereka paling pake sandal jepit. Kadang tanpa alas kaki. Wih, jalannya cepet sekali. Sementara para pelancong,  udah sepatu gunungnya keren, bawa tongkat juga model terkini.  O la la, jalannya lelet. Dikit-dikit berhenti.

Seorang penari siap tempur
Makin dekat makin terdengar bunyi tetabuhan musik adat.  Irama musik itu bagaikan menyambut tamu-tamunya yang datang dari berbagai penjuru dunia dan negeri ini. Rasanya nggak sabar. Ingin cepat sampai di lokasi. Sepertinya sudah dekat tapi jalannya masih mutar muter.  Mendekati lokasi lumayaaan, jalanan ada menurunnya.

 Benar juga, pas kami datang,  halaman di depan 7 rumah adat itu sudah berisi banyak orang menonton  Tari Caci yang sudah tergelar. Setelah berjumpa dengan para tetua adat barulah saya bergabung menonton di situ. Bersama para tamu lainnya dan masyarakat Waerebo. Begitu melihat ini semua, rasanya jalan kaki yang lamanya 2,5 jam itu tak berasa apa-apa. Rasa capek, haus, keringetan,  juga entah rasa apalagi, semua sirna.

Penonton menggunakan tenun dan selalu siap membidik.
Sebenernya tontonan yang ada di depan saya itu apa sih? Tari caci adalah  tari perang sekaligus permainan rakyat yang dibawakan oleh sepasang penari laki laki. Pasangan  tersebut  bertarung dengan cambuk dan perisai. Meski menari bersama, tapi peran mereka berbeda. Penari yang bersenjatakan cambuk bertindak sebagai penyerang. Lawannya lain lagi perannya, karena ia harus  bertahan dengan menggunakan perisai dan busur berjalin rotan.

Serunya tuh di sini ….

Ketika sipembawa cambuk berusaha memecut lawannya dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau/sapi. Ditujukan ke badan lawan. Lawannya berusaha menangkis  lecutan tadi dengan perisai dan busur berjalin rotan. Kalau lawan dapat menangkis, maka cambuk tadi tidak akan kena badannya. 

Di sinilah seninya ....

Sambil menari yang satu berusaha mengayun-ayunkan pecutnya. Sedangkan lawannya berusaha menangkis pecut tadi agar tak terkena badannya.  Jika mata berdarah kena cambuk, pemain lansung dinyatakan kalah, ke 2 pemain langsung diganti dengan pemain yang baru.

Tuh kalau yang terluka
Terkadang ngeri mendengar cambukan-cambukannya. Apalagi kalau cambuknya kena bagian belakang tubuh lawan. Hi …darah mengucur. Kalaupun darah tak mengucur, melihat guratan merah bekas pecut-pecut di bagian tubuh pemain itu, gak tegaaa!

Mereka memang menari, beradu dan berpantun. Saat mereka berpantun, kayaknya sih lucu. Soalnya penonton tertawa-tawa yang mengerti artinya. Sedang tegang-tegangnya melihat perang mereka, sesudah cambuk-cambukan, lantaran yang satu berdarah punggungnya, eh, si pemegang pecut itu berbalik menghadap penonton. Trus berteriak dan yang saya ingat hanya ini, kata-katanya :

 “Cocoook?”, teriak si pemuda pemegang pecut sambil berjingkat-jingkat.
“Cocoook!”, jawab para penonton.

“Puas?”, tanya si penari sekali lagi.
“Puas!”, jawab penonton yang juga tertawa melihat mimik lucu si penari. Lalu ia meninggalkan penonton dengan gaya jingkat-jingkat. Lari meninggalkan penonton, dengan hiasan kuningan dipinggulnya yang bergoyang-goyang.  

Kalau sudah pegang mike, berarti siap berpantun.
Begitulah prinsip Tari Caci itu, setelah 2 orang bertarung selesai, diganti dengan petarung berikutnya. Kadang tegang saat mereka bertarung, tapi juga tertawa saat berpantun,  menari dan bernyanyi diiringi dengan tetabuhan musik tradisional adat setempat. Kocak. Pendukung tim dan penonton juga tak kalah seru. Mereka berteriak-teriak  dalam memberikan dukungan pada para penari-penari yang sedang perang itu. Hajar saja, maunya penonton. Anehnya juga penari-penari itu kayaknya menikmati peran mereka. Terutama yang terkena pecut badan bagian belakangnya, mereka santai. Tertawa-tawa.

Jujur, saya puas sekali nonton Tari Caci di kampung ini. Tariannya meriah, dinamis ditambah dengan teriakan-teriakan para supporter dengan bahasa gaul mereka. Suasana pedesaan yang masih alami, musik tradisional pengiring tarian, kostum penarinya dan keramahan masyarakat setempat semua menjadi suatu kesatuan yang menampilkan ciri khas kampung itu.  Apalagi ditengah kemeriahan tersebut, muncul suguhan kopi asli Waerebo. Wah … serasa banget sambil nonton ditemani kopi panas.

  Siang hari, kira-kira pas jam 3 siang, atraksi Tari Caci selesai. Tarian tersebut digelar memang dalam rangka menyambut tamu-tamu yang datang. Selanjutnya adalah acara pokok dari perhelatan Adat Penti. 

Tarian Caci anak-anak di Waerebo 
Sambil menanti acara berikutnya, penonton bebas.  Saya pun duduk-duduk di rumput dengan tamu-tamu lainnya. Tanpa kami sadari, ternyata kami dapat suguhan lain. Dihadapan kami, anak-anak kecil sedang bermain. Ternyata mereka ikut-ikutan juga  bertarung seakan mereka penari caci. Perlengkapan mereka terbuat dari daun rotan juga. Otomatis dong kami tertawa-tawa melihat kelucuan anak-anak. Benar-benar hiburan asli anak-anak.

Bercerita dengan anak-anak 
Permainan anak-anak membuat saya teringat masa  kecil, kalau baru ada pertandingan SEA GAMES ataupun kejuaraan olahraga lainnya di televisi. Biasanya anak-anak demam dengan olahraga yang baru disiarkan. Biasanya badminton atau bola.

Bagian dari acara adat Penti.
Ini baru cerita Tari Caci. Acara adat Pentinya bakalan menjadi cerita yang panjang. Sebab masih banyak rangkaian acaranya yang berlangsung dari  sore itu hingga pagi hari. Pastinya malam itu kami tidur  diiringi suara doa-doa dan puji-pujian pada Tuhan dan leluhur mereka yang diselenggarakan di rumah ketua adat Waerebo.  Suaranya jelas terdengar lantaran disambungkan dengan pengeras suara sehingga dapat diikuti  semua orang di kampung itu dari rumahnya masing-masing. Anehnya meski keras suaranya, tapi kami tidur pulas. Mungkin saking capeknya. Begitu bangun, matahari sudah terbit. Dan saya yang dalam perjalanan ini ditemani Erni dari De Plesiran De Mlaku-mlaku dan  Arman dari Komodo Trip,  bergegas packing untuk kembali lagi ke Denge meninggalkan Waerebo. ** ira**.




             
                         


2 comments:

  1. Hi ibu Ira, terima kasih banyak telah menulis banyak tentang tarian Caci. Tarian khas daerah saya. Saya bangga telah menghantar ibu ke Waerebo.
    Saya tambahkan beberapa hal di bawah ini.
    Tarian caci selain menguji ketangkasan para pemainnya, juga merupakan tarian persahabatan. Terluka atau kalah sekalipun bukan masalah, toh selama permainan mereka tertawa dan pada akhir permainan mereka berjabatan tangan. Luka kena cambuk adalah persembahan kepada Tuhan dan leluhur. Dengan demikian, tarian caci merupakan tarian yang sakral, yang hanya dilakukan dalam event tertentu, seperti Penti, Tabhisan pastor dan kadang pada hari HUT kemerdekaan 17 Agustus.

    ReplyDelete
  2. Hi juga mas Arman. Trima kasih sudah menanggapi tulisan saya. Saya juga seneng banget bisa main ke Waerebo apalagi nonton tarian Caci. Ntar koreksi mas Arman mau saya masukkan dlm tulisan tersebut. Ntar kalo udah di edit saya beri kabar.

    ReplyDelete

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden