Suasana Kampung Naga. Hijau royo-royo. |
Kali ini, saya jalan ke Kampung
Naga. Kampung ini terletak di Dusun
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di Jawa Barat. Masuk kampung ini gak susah lantaran lokasi
parkir kendaraan untuk para tamunya berada di tepi jalan.
Kampung ini sudah cukup tua. Diperkirakan didirikan oleh Eyang Sembah Singaparna yang pernah di sapa juga sebagai Sanaga, sejak 5 abad lalu. Dikisahkan beliau bermukim di kawasan yang subur dan mendirikan dusun yang sekarang dikenal sebagai Kampung Naga. Waktu itu beliau selaku anak buah Sunan Gunung Jati ikut menyebarkan agama Islam.
Rumah-rumah dengan undakan bebatuan |
Warga
di sini masih sangat kuat mempertahankan tradisinya. Bahkan listrik pun belum
masuk di kampung ini. Hingga saat ini
terdapat sekitar 112 rumah tradisional khas Kampung Naga. Bentuknya berupa
rumah panggung yang terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan atap ijuk.
Yang
menarik buat saya saat bulan
September 2019 lalu, pas sedang kemarau
panjang, sawah di sana masih tumbuh subur. Hijau royo-royo. Padahal ditempat lain, di daerah lain sudah
kering kerontang. Mungkin karena di kampung ini mengalir Sungai Ciwulan yang
masih tetap deras juga. Suburnya sawah di kampung ini, membuat banyak warga
kampung ini yang mengandalkan hidupnya sebagai petani.
Pengrajin piring bambu |
Pengrajin kipas |
Banyaknya
tamu yang masuk ke kampung ini, membuka peluang mata pencaharian penduduk di
kampung itu. Banyak pengrajin cinderamata yang hasil karyanya di tempatkan di
warung-warung cinderamata. Harganya lumayan.
Terjangkau. Malahan gak tega kalau harus menawarnya.
Salah satu warung cinderamata |
Orang
sana ramah-ramah. Mereka juga mau difoto-foto.
Kalau tamu-tamu blusukan ke dalam
kampungnya, pasti bakalan ketemu mereka. Mereka biasanya duduk-duduk di depan
rumahnya. Biasanya mereka sambil menganyam piring bambu, kipas dan banyak
macamnya. Mau beli langsung juga boleh di pengrajin tersebut. Saya sempat
membeli piring bambu. Harganya lima ribu rupiah per piring. Coba kalau sudah di
Bandung, berapa harganya? Tentu sudah berlipat-lipat.
Es Cincau Kampung Naga. Maknyus! |
Siang
itu saya dan teman-teman sempat kulineran es cingcau hijau dari seorang
pedagang pikulan yang mangkal di depan mesjid kampung itu. Segarnya ... Soalnya
semua ramuannya asli gak ada campurannya. Wah, es cincau hijaunya maknyus tenan.
Sebelum makan, lihat dapurnya. Bersih. |
Nikmatnya makan siang di Kampung Naga |
Satu
lagi, kami juga makan siang di sana di rumah tetua kampung itu. Duduk ngariung
dengan makanan suguhan yang ada di tengahnya.
Nasi merah, goreng tahu tempe dan ikan goreng, ayam goreng, ikan asin, tumisan
sayur, sayur asem, lalap dan sambel. Rasanya makan siang di situ kok enak sekali. Pastinya
saya lahap banget. Teman-teman juga gitu. Gak tau lantaran kecapekan, atau kah
kelaperan atau makanannya memang benar-benar enak.
Begitu
selesai makan, kami memang SMP alias Sudah Makan Pulang. Berat rasanya mau pulang. Suasana yang jauh
dari keramaian kota. Asri. Damai rasanya. Jadi berasa gimana gitu pas mau
pulang. Sedikit ogah-ogahan. Saya jalan paling belakang. Sambil motret-motret.
Saya menuju pulang, lalu saya menoleh kebelakang. Panorama ini yang saya lihat. |
Apalagi pas jalan menyusuri tepi sungainya. Melewati balongnya. Rumah-rumah adatnya. Juga sawah-sawahnya. Juga anak tangganya yang lumayan tinggi.
Saat
kendaraan meninggalkan kampung itu, mata saya masih tetap melihat Kampung Naga.
Sampai kampung itu tak nampak lagi.***
No comments:
Post a Comment