Saturday, November 30, 2019

Kangen Kampung Naga


Suasana Kampung Naga. Hijau royo-royo.

Kali ini, saya jalan ke Kampung Naga. Kampung  ini terletak di Dusun Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di Jawa Barat.  Masuk kampung ini gak susah lantaran lokasi parkir kendaraan untuk para tamunya  berada di tepi jalan.


 Kampung ini sudah cukup tua. Diperkirakan didirikan oleh  Eyang Sembah Singaparna yang pernah di sapa juga sebagai  Sanaga, sejak 5 abad lalu.  Dikisahkan beliau bermukim di kawasan yang subur dan mendirikan dusun yang sekarang dikenal sebagai Kampung Naga. Waktu itu beliau selaku anak buah Sunan Gunung Jati ikut menyebarkan agama Islam.

Rumah-rumah dengan undakan bebatuan

Warga di sini masih sangat kuat mempertahankan tradisinya. Bahkan listrik pun belum masuk di kampung ini.  Hingga saat ini terdapat sekitar 112 rumah tradisional khas Kampung Naga. Bentuknya berupa rumah panggung yang terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan atap ijuk.

Yang menarik buat saya saat  bulan September  2019 lalu, pas sedang kemarau panjang, sawah di sana masih tumbuh subur. Hijau royo-royo.  Padahal ditempat lain, di daerah lain sudah kering kerontang. Mungkin karena di kampung ini mengalir Sungai Ciwulan yang masih tetap deras juga. Suburnya sawah di kampung ini, membuat banyak warga kampung ini yang mengandalkan hidupnya sebagai petani.


Pengrajin piring bambu

Pengrajin kipas 

Banyaknya tamu yang masuk ke kampung ini, membuka peluang mata pencaharian penduduk di kampung itu. Banyak pengrajin cinderamata yang hasil karyanya di tempatkan di warung-warung cinderamata.  Harganya lumayan. Terjangkau. Malahan gak tega kalau harus menawarnya.


Salah satu warung cinderamata
Orang sana ramah-ramah.  Mereka juga mau difoto-foto. Kalau tamu-tamu  blusukan ke dalam kampungnya, pasti bakalan ketemu mereka. Mereka biasanya duduk-duduk di depan rumahnya. Biasanya mereka sambil menganyam piring bambu, kipas dan banyak macamnya. Mau beli langsung juga boleh di pengrajin tersebut. Saya sempat membeli piring bambu. Harganya lima ribu rupiah per piring. Coba kalau sudah di Bandung, berapa harganya? Tentu sudah berlipat-lipat.


Es Cincau Kampung Naga. Maknyus!
Siang itu saya dan teman-teman sempat kulineran es cingcau hijau dari seorang pedagang pikulan yang mangkal di depan mesjid kampung itu. Segarnya ... Soalnya semua ramuannya asli gak ada campurannya.  Wah, es cincau hijaunya maknyus tenan.


Sebelum makan, lihat dapurnya. Bersih.

Nikmatnya makan siang di Kampung Naga

Satu lagi, kami juga makan siang di sana di rumah tetua kampung itu. Duduk ngariung dengan makanan suguhan yang ada di tengahnya.  Nasi merah, goreng tahu tempe dan ikan goreng, ayam goreng, ikan asin, tumisan sayur, sayur asem, lalap dan sambel.  Rasanya makan siang di situ kok enak sekali. Pastinya saya lahap banget. Teman-teman juga gitu. Gak tau lantaran kecapekan, atau kah kelaperan atau makanannya memang benar-benar enak.

                Begitu selesai makan, kami memang SMP alias Sudah Makan Pulang.  Berat rasanya mau pulang. Suasana yang jauh dari keramaian kota. Asri. Damai rasanya. Jadi berasa gimana gitu pas mau pulang. Sedikit ogah-ogahan. Saya jalan paling belakang. Sambil  motret-motret.

Saya menuju pulang, lalu saya menoleh kebelakang. Panorama ini yang saya lihat.

Apalagi pas jalan menyusuri  tepi sungainya.  Melewati balongnya. Rumah-rumah adatnya. Juga sawah-sawahnya. Juga anak tangganya yang lumayan tinggi.

Saat kendaraan meninggalkan kampung itu, mata saya masih tetap melihat Kampung Naga. Sampai kampung itu tak nampak lagi.***
               

No comments:

Post a Comment

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden