Friday, January 31, 2020

Suatu Pagi di Kampung Bena




Kampung Bena
Kampung tradisional yang beken di Flores tak hanya Waerebo. Lumayan banyak. Tapi salah satunya yang saya sempat mampir adalah Kampung Bena. Kampung ini terletak dalam perjalanan, sewaktu saya melakukan perjalanan dari Maumere ke Labuan Bajo. Terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.



Saya menginap di sana.  Surprise banget. Di rumah penduduk di kampung itu. Rumahnya sih rumah tradisional lho. Rumah dari kayu-kayu gitu. Trus tamunya tidur ngampar di ruangan depan tempat kami ngobrol dengan tuan rumahnya. Pas mau tidur ya di situlah kami tidur bersama tuan rumahnya. Berjajar. Yang cowok semua di sisi kiri. Dan yang perempuan di sisi kanan.  Toiletnya terletak di belakang rumah dan terpisah dari rumah utama. Surprise ..... toiletnya bersih sekali. Maklum sudah banyak bule-bule menginap di sana. Makanya bersih. 

Yang bikin asyik, ketika saya bangun dan duduk di teras, ternyata di depan mata saya yang nampak adalah gunung Inirie. Wouw ... Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa.


Gunung Inirie 

Langsung dong saya bangun dan jalan-jalan di kampung itu. Ternyata di halaman yang saya lihat bukan saja deretan rumah-rumah, tetapi saya melewati banyak bhaga dan ngadu. Kalau bhaga, bentuknya mirip pondok kecil dengan sebuah tiang di tengahnya dengan atap ijuk. Sementara ngadu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk jadi bentuknya mirip dengan pondok untuk berteduh. Dulu merupakan tiang gantungan untuk hewan kurban ketika pesta adat. 

Senang juga jalan-jalan di situ, di lapangan di antara deretan rumah-rumah. Jadi bisa melihat kesibukan orang-orang di sana. Mereka baik-baik sekali. Ramah. Tua muda dan anak-anak kecil semua ramah. Suka saya.  Dan ujung jalan itu undak-undakan. Di situ ada patung Bunda Maria dan dibelakangnya ada sebuah jurang. Pemandangannya indah sekali. 

Pemandangan cantik di belakang Kampung Bena

Selesai cuci mata melihat perbukitan di belakang kampung itu, saya kembali lagi melewati perkampungan. Suasananya sudah agak berbeda. Tak sepi lagi. Saya mulai melihat di depan rumah-rumah itu tergantung aneka kain tenun hasil karya para ibu pemilik rumahnya. Cantik-cantik warnanya. Motifnya banyak bergaris-garis. Jadi para pelancong yang naksir bisa langsung mampir untuk membelinya. 


Rumah tempat saya menginap

Jangan khawatir, di sana mereka sama sekali tak memaksa para tamunya untuk membeli. Jadi saya bisa berjalan dengan santai. Bisa puas melihat-lihat tenunannya. Bisa tanya pewarnaannya. Bisa tanya motifnya. Dan mereka para ibu yang sedamg menenun, yang saya lewati di rumah-rumahnya dengan santai juga menjawabnya. Nih lihat beberapa ibu yang sedang menenun.

Seorang ibu sedang menggulung benang.

Masih rajin menenun meski sudah berumur. Makanya jadi sehat.

Ibu Maria sedang menenun. Saya tidur di rumahnya.
Untuk satu selendang ada yang dijual Rp 300.000,- dan selembar kain seharga Rp 600.000,-. Ini untuk harga kain dengan benang-benang bukan dari zar warna asli. Tapi kalau menggunakan warna alam dari pepohonan, wah harganya memang bisa jutaan. Saya juga jadi mengerti, bahwa kalau yang terbuat dari pewarna asli maka warnanya tak terlalu terang. Biar mahal tapi kelihatan eksotis dan eksklusif. Tamu mancanegara suka dengan yang asli. 

Ketemu juga dengan anak-anak. Banyak tamu-tamu tapi mereka tetap bermain seperti juga para penenun yang terus bekerja. Tak terganggu dengan tamunya yang sibuk tanya dan potret-potret. Di potret sana sini, mereka tak marah.

Seorang nenek dengan cucunya yang bermain motor-motoran

Pas mau pulang ternyata saya melihat ada para bapak dan ibu yang sedang gotong royong membuat rumah atau pun tempat mereka beribadat. Ternyata untuk membuat bangunan baru itu tak hanya tugas para bapak. Tetapi ibu-ibu juga ikut membantu. Sayang saya hanya sebentar di sana. Kalau tidak, saya ingin terus melihat kegotong-royongan mereka. 

Situasi di tempat bekerja bakti
Gotong royong membuat atap rumah
Sedang asyik-asyiknya berada di kampung itu, pas lagi mulai dekat dengan mereka ternyata harus pulang. Arman dan Erny sudah mengingatkan, takut terlambat sampai di Desa Denge. Di desa berikutnya yang akan kami datangi. 

Lagi jalan lalu melewati sebuah rumah dengan anak-anak yang polos ini. Wah ....pingin nangis. Beneran suasana di Bena itu walau hanya sekejab bisa membuat saya begitu dekat. Pantes banyak tamu yang datang ke sini. Tamu mancanegara mau pun tamu dari negeri sendiri. 

Rumah yang paling akhir saya lihat.

Makin melihat ke anak-anak ini,  tambah berat hari dan berat melangkah. Lucunya dan lugunya anak-anak ini. Suka dengan keceriaannya. Celetuknya juga. Sudah ya dik .... kapan-kapan kita jumpa lagi. Kapan-kapan saya main ke sini lagi. ***








               

No comments:

Post a Comment

Terbayang-bayang Pulau Maratua

Terbayang - bayang Pulau Maratua

Sore hari di Pulau Maratua Dalam trip saya ke Kepulauam Derawan, maka saya singgah di beberapa pulaunya. Di antaranya  pulau Maratua,...

Main Ke Stone Garden