Nampang di Area Penokok Sagu |
Pas saya dan teman-teman melintas ke luar kota Ambon, saya melihat kumpulan pohon mirip pohon enau. Ternyata itulah yang namanya Pohon Sagu. Kalau melihat bentuknya, pohon sagu ini masuk dalam keluarga pohon jenis Palmae.
Saya langsung mikir, ih pohon segede gitu, lalu jadi sagu, apanya yak yang diambil. Nggak lama kemudian muncul mas-mas yang memikul tumang sagu. Persis banget seperti yang di pasar. Dari mas-mas ini saya diberitahu lokasi panen sagu. Penasaran, kami menuju lokasi panen sagu yang ditunjukan oleh mas-mas pemikul sagu tadi.
Wadouw, saya bersyukur bisa ketemu lokasi panen sagu. Waktu itu di tahun 1985 an saja, menemukan lokasi pohon-pohon sagu saja sudah sulit. Maklumlah banyak lahan kebon sagu yang sudah menjadi lokasi pemukiman penduduk. Jadi kalau mau melihat orang yang memanen (menokok) sagu, ya juga tidak semudah dulu.
Tumang Sagu yang mau dijual ke pasar.
Saya turun ke sebuah lokasi dimana ada sebatang pohon sagu yang sudah ditebang. Saya berjumpa dengan Pak Danil yang sedang bekerja. Orangnya kekar dan sepintas wajahnya sulit tersenyum. Mungkin lantaran kumisnya yang bisa nakutnakutin orang itu. Tapi ternyata, ia ramah. Bahkan mempersilahkan saya untuk berfoto dengannya. Ha ha ha.
Pohon sagu ini, ditebang dari sisi dekat akar pohonnya sampai menjelang pelepah daunnya. Mungkin ada 2 meteran panjangnya. Lalu pohon itu dibelah menjadi 2 memanjang. Nah, ternyata yang diambil itu adalah isi dari dalam batang tadi, empelur namanya. Untuk mengambil bagian dalam batang itu di pukul-pukul dengan alat tokok, seperti pacul gitu tapi besinya lebih panjang dan pipih. Alat ini disebut ‘nani’. Sedangkan orang yang memukul-mukul empelur ini, yang memanen sagu itu, namanya penokok. Makanya dikatakan penokok sagu.
Jadi setelah empelur diambil sedikit-sedikit, diletakan di atas sebuah tapis. Di atas tapis tadi diberi air yang mengalir. Sambil disiram air, empelur ini ditekan-tekan dan diremas. Tepung-tepung yang mengendap ke bawah ini dimasukkan dalam cetakkan, tumang namanya. Tumang yang sudah di cetak dan dibungkus ini beratnya bisa mencapai 5 kg. Di simpan paling lama 3 hari sampai kering. Trus di jual. Bahan dasar inilah yang biasanya nanti diolah.
Itulah tumang-tumang yang tadi saya lihat di pasar. Bahwasanya sebelum menjadi kue-kue kering dan jajanan pasar tadi, atau juga penganan seperi bubur papeda, atau sagu tumbu, sagu lempeng, bagea sagu, sagu-sagu itu di pasar dijual masih dalam bentuk yang lebih mentah. Contohnya seperti sagu basah, tepung sagu yang dianginkan, trus ada sagu bakar yang berbentuk kotak yang biasanya dimasak untuk buburne, karkaru, sinoli dan sebaginya dan sebagainya.
Oh ya satu lagi. Pohon-pohon yang akan diambil empelurnya juga tak sembarangan main tebang. Ada waktu yang pas, sehingga empelurnya bisa diambil sebanyak-banyaknya. Ada ciri khusus, misalnya : daun sudah mulai berkurang, tangkai daunnya memutih, trus ada gejala mau berbunga, tapi jangan sampai berbunga. Jadi memang dibutuhkan seorang yang ahli untuk menentukan pohon sagu di tebang untuk dipanen.
Saya bersyukur sore itu bisa bertemu dengan Pak Daniel yang sedang menokok sagu. Ya baru sekali-kalinya itulah saya tahu proses pemanenan pohon sagu. Sungguh sebuah pengetahuan baru yang amat berharga. *** (ira).
terima kasih atas informasinya...
ReplyDeletesemoga tetap sukses yaaaaa
Salam kenal,, Saya Kliwon. Catatan nya menarik mba Ira,, :)
ReplyDeletehttp://miftahayatussurur.blogspot.com/2014/03/catatan-perjalanan-dari-papua-barat.html